BAB IV
PELAKSANAAN TINDAK UJARAN
1. PENGENALAN
Seperti dinyatakan dalam Bab III, pemahaman terhadap ujaran boleh berhenti apabila ujaran itu dimengerti, atau dilanjutkan dengan suatu tindakan. Bila kita mendengar ujaran atau membaca suatu wacana yang isinya merupakan pemberitaan belaka, maka pada umumnya kita hanya memahami saja apa yang diujarkan atau ditulis dalam wacana tersebut. Jikalau, misalnya, kita mendengar ujaran
(1) Para pendukung Mbak Gema sudah mulai berdatangan
maka kita boleh diam saja atau memberikan tanggapan verbal, tetapi tidak ada kewajiban bagi kita melakukan sesuatu setelah memahami ujaran tersebut. Akan tetapi, pada suatu suasana lain, tidak mustahil bahawa pemahaman terhadap ujaran memerlukan tanggapan yang berupa tindakan. Apabila, misalnya, kita mendengar ujaran
(2) Tolong pintunya ditutup
maka kita tidak cukup hanya memahami makna ayat (2), tetapi kita juga harus melakukan suatu perbuatan tertentu, yakni, menutup pintu yang dimaksudkan.
Dengan kata lain, pemahaman terbagi atas dua bahagian (Clark dan Clark 1977): (1) pemahaman untuk memahami makna suatu ujaran (sudah dibahas di Bab III), dan (2) pemahaman bagi melaksanakan makna ujaran tersebut. Bab IV membahas bahagian kedua dari dua bahagian ini, yakni, pelaksanaan tindak ujaran.
Bab ini adalah langkah lanjutan setelah orang memahami ujaran yang baru saja didengarnya.
2. TUJUAN UJARAN
Dalam menghasilkan ujaran, manusia pastilah mempunyai tujuan, bahkan waktu kita sedang berbual-bual dan berjalan-jalan ke sana kemari sekalipun. Tujuan tadi berupa pemberian informasi kepada pendengar.
Kalau dalam suatu wacana dialog, misalnya, kita menemui ayat
(1) Pak Wijoyo sekarang ada di Leipzig
maka kita sebagai pendengar akan menangkap makna ujaran tersebut tetapi kita tidak akan berbuat apa-apa, seperti menutup pintu atau membuka jendela. Yang akan kita lakukan adalah menangkap makna tersebut dan kemudian menyimpannya dalam memori kita. Pada suatu masa lain, mungkin informasi ini diperlukan. Sebagai contoh, apabila, pada suatu hari ada orang hari bertanya Di mana Pak Wijoyo, ya, sekarang.
Ayat (1) juga mengandung perpaduan satu proposisi dengan proposisi lain. Ini bermaksud, ada argumen Pak Wijoyo dan predikasi ada di Leipzig dan keterangan waktu sekarang. Di samping itu, orang yang menghasilkan ujaran ayat (1) juga mempunyai anadaian-andaian tertentu mengenai pengetahuan orang yang diajak bicara, si interlokutor. Pembicara pasti berandaian, misalnya, bahawa pendengar mengenali Pak Wijoyo itu. Yang tidak dia ketahui adalah apa yang terjadi padanya, yakni, keberadaan dia di Leipzig pada masa ini.
Dengan demikian, suatu ujaran itu mengandung di dalamnya tiga unsur: (a) tindak ujaran (speech acts), muatan proposisi (propositional content), dan muatan tematik (thematic content). Marilah kita lihat ketiga-tiga unsur ini lebih lanjut.
a. Tindak Ujaran
Konsep mengenai tindak ujaran (Speech Acts) mulai dipikirkan oleh seorang profesor Universiti Oxford, John L. Austin, dalam syarahannya di Universiti Harvard tahun 1955. Syarahan ini kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul How to Do Things with Words pada tahun 1962 setelah beliau meninggal. Karya beliau tersebut kemudian dilanjutkan oleh salah satu mahasiswa Amerikanya, J.R. Searle, yang kemudian menerbitkan buku Speech Acts (1969) (Mei 1998: 1051; Mei 2002: 92).
Searle membahagi tindak ujaran ke dalam lima kategori (Searle 1969: 34; Mey 2002: 120): (a) representatif, (b) direktif, (c) komisif, (d) ekspresif, dan (e) deklarasi. Tindak ujaran yang berupa representatif adalah pernyataan (assertions) tentang suatu keadaan di dunia. Dari segi pembicara apa yang dinyatakan itu mengandung kebenaran. Oleh sebab itu, jikalau pembicara berkata
(2) Katanya, Abu Hamzah mempunyai empat isteri
maka ayat tadi dari segi pembicara menyatakan suatu proposisi yang benar.
Pada tindak ujaran direktif, pembicara melakukan tindak ujaran dengan tujuan agar pendengar melakukan sesuatu. Wujud tindak ujaran ini dapat berupa pertanyaan seperti dalam (2), permintaan sangat lunak seperti dalam (3), sedikit menyuruh seperti dalam (4), atau sangat langsung dan kasar seperti dalam (5).
(2) Apa kamu harus merokok di sini?
(3) Mbok kamu mampir kalau ke Jakarta.
(4) Ayo, dong, dimakan kuihnya.
(5) Pergi kamu!
Tindak ujaran komisif sebenarnya boleh dianggap sama seperti tindak ujaran direktif, hanya saja arahnya berbeza. Dalam ujaran direktif, si pendengarlah yang diharapkan melakukan sesuatu. Dalam tindak ujaran komisif, “perintah” itu diarahkan kepada pembicara sendiri. Kerana itu, ada yang menganjurkan agar kedua jenis tindak ujaran ini dijadikan satu menjadi obligatif (Mei 2002:
121). Namun pada umumnya orang masih memisahkan kedua-duanya. Kata-kata seperti berjanji, bersumpah, bertekad termasuk dalam kategori komisif seperti terlihat pada contoh-contoh berikut:
(6) Saya berjanji akan mencintaimu lebih lama daripada selamanya.
(7) Saya bersumpah untuk membalas kematian adik saya.
(8) Kami bertekad untuk menuntut anggota DPR hadir pada tiap sidang.
Tindak ujaran ekspresif digunakan oleh pembicara bila dia ingin menyatakan keadaan psikologis dia mengenai sesuatu, misalnya, menyatakan rasa terima kasih, takziah (bela sungkawa), menyampaikan ucapan selamat, dan juga mengumpat. Berikut adalah beberapa contoh tindak ujaran ekspresif:
(9) Mohon maaf, Bu, kami tidak boleh ikut membantu.
(10) Selamat, ya, semoga anakmu lahir selamat, cantik atau tampan.
(11) Terima kasih, Oom, atas kiriman uangnya.
(12) Gila, barang busuk begini dibeli!
Tindak ujaran deklarasi menyatakan adanya suatu keadaan baru yang muncul oleh kerana ujaran itu. Ayat seperti (13) menyatakan bahawa kedua orang itu telah menjadi suami-isteri, sedangkan ayat (14) merujuk pada dijatuhkannya hukuman terhadap orang itu.
(13) I hereby pronounce you husband and wife.
(14) Dengan ini kami menjatuhkan hukuman penjara 15 tahun.
Satu hal yang perlu dicatat dalam tindak ujaran ini adalah bahawa bagi menyatakan (13) dan (14) seseorang harus memiliki wewenang bagi melakukannya. Hanya padri Kristian yang dapat mengucapkan ayat (13) dan hanya hakimlah yang berhak mengucapkan (14). Tanpa wewenang itu, kedua ayat ini tidak mempunyai nilai. Syarat seperti ini dikenal dengan istilah, syarat kelayakan (felicity condition).
b. Muatan Proposisi
Dalam muatan proposisi (propositional content) pendengar meramu satu proposisi dengan proposisi yang lain; makin lama makin meninggi sehingga terbentuklah suatu pengertian yang menyeluruh dari proposisi-proposisi tersebut. Seandainya kalimat yang kita dengar adalah
(15) Ira menyanyi lagu popular Kopi Dangdut.
maka terbentuklah hierarkhi proposisi mengenai argumen Ira dan lagu populer Kopi Dangdut dengan predikasi menyanyi. Lagu itu sendiri adalah lagu yang populer. Ramuan antara dua argumen dan predikasi ini membentuk pengertian yang menyeluruh seperti yang diungkapkan oleh ayat (15).
c. Muatan Tematik
Muatan tematik merujuk pada pengertian akan adanya dua jenis informasi dalam ayat, yakni, informasi lama dan informasi baru. Perhatikan ayat berikut.
(16) Apa Ira yang menyanyi lagu Kopi Dangdut?
Pembicara yang mengucapkan ayat (16) pastilah berandaian bahawa ada orang yang menyanyikan lagu Kopi Dangdut. Dia juga berandaian bahawa pendengar memiliki pengetahuan seperti itu pula. Andaian seperti inilah yang dinamakan informasi lama, yakni, informasi yang diandaikan oleh pembicara berada pada kesadaran pendengar pada saat ayat itu diujarkan. Yang tidak diketahui adalah apakah yang menyanyikan lagu itu Ira. Inilah informasi baru yang disampaikan oleh pembicara, dan kerana ayat ini berupa pertanyaan maka memerlukan tanggapan dari pendengar.
Dari gambaran pada Bahagian 1.1 – 1.2 tampak bahawa pada waktu berujar tiga faktor di atas terkandung dalam ujaran itu. Dari contoh (16) dapat kita rinci hal-hal berikut:
1. Dari segi tindak ujaran, ayat (16) adalah suatu ka-limat direktif, yakni, ayat yang memerlukan suatu tindakan yang berupa jawapan verbal.
2. Dari segi muatan proposisi, ayat ini mengandung dua argumen dan predikasi.
3. Dari segi muatan tematik, ayat ini mengandung informasi lama (yakni, adanya seseorang yang menyanyikan lagu Kopi Dangdut) dan informasi baru (yakni, Ira yang menyanyikan lagu itu).
Dalam bentuk skema, orang mengungkapkan tujuan pembicaraan dengan menggunakan unsur-unsur berikut:
a. Representatif
b. Direktif
1. Tindak Ujaran c. Komisif
d. Ekspresif
e. Deklarasi
Unsur komunikasi 2. Muatan Proposisi
3. Muatan Tematik
3. LANGKAH UMUM DALAM PELAKSANAAN UJARAN
Langkah apa yang kemudian harus dilaksanakan oleh pendengar setelah memahami suatu ujaran tergantung pada macam ujaran yang didengar. Dari teori tindak ujaran kita ketahui bahawa ujaran hanya boleh representatif, direktif, komisif, ekspresif, atau deklarasi. Bila ujaran yang kita dengar adalah representatif, maka kita memang tidak diharapkan untuk bertindak apa-apa kecuali, mungkin, untuk menyimpan makna ujaran itu dalam memori kita. Oleh sebab itu, seandainya ujaran yang kita dengar adalah
(17) Pak Wijoyo sudah merakamkan tiga VCD
maka kita tidak diharapkan berbuat apa-apa kecuali memahami ujaran itu dan menyimpannya dalam memori kita yang suatu saat mungkin akan diperlukan. Seandainya beberapa minggu kemudian ada orang yang bertanya berapa VCD yang dirakkan oleh Pak Wijoyo, maka informasi yang telah tersimpan (yakni, tiga VCD) dapat diretrif sebagai jawaban. Tidak mustahil pula bahawa anda sudah lupa. Dalam hal ini maka informasi yang pernah masuk itu tentunya tiada lagi; kerananya anda tidak dapat menyawab pertanyaan tersebut.
Bila tindak ujaran yang didengar adalah sebuah pertanyaan, maka tentunya kita akan tahu apakah pertanyaan itu memerlukan jawapan seperti pada contoh di atas, atau hanya jawapan yang berupa ya atau tidak, bukan atau belum. Ayat seperti (18) hanya memerlukan jawapan ya atau tidak, sedangkan (19) memerlukan jawapan yang lebih informatif.
(18) Apa kamu mau ikut? \
(19) Siapa yang mendirikan Kebun Raya Bogor?
Bila tindak ujarannya berupa perintah, maka kita akan melaksanakan (atau tidak mahu melaksanakan) perintah itu. Begitu pula bila tindak ujaran itu ekspresif, maka kita memberikan respons yang selayaknya. Marilah kita lihat pelaksanaan ujaran-ujaran itu.
4. PELAKSANAAN UJARAN
Oleh kerana tindak ujaran ada berjenis-jenis, maka eloklah kita lihat tindak ujaran ini satu persatu.
a. Pelaksanaan Tindak Ujaran Representatif
Kerana tindak ujaran representatif hanyalah merupakan pernyataan mengenai sesuatu, maka yang perlu kita lakukan adalah menghimpun muatan proposisi dan memahami mana yang merupakan informasi lama dan mana yang baru. Dalam menghimpun muatan proposisi ini kita cari mana argumennya dan mana predikasinya; siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi penderitanya; mana yang memodifikasi yang mana (mata air atau air mata), dst. Kemudian kita mencari pula mana dari informasi yang didengar itu yang lama dan mana yang baru. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lihat ayat berikut
(20) Sari yang menyanyi lagu Fly Me to the Moon.
Begitu mendengar ayat (20) pertama-tama kita menentukan jenis tindak ujaran apa yang dinyatakan oleh ayat itu. Dari wujud sintaktiknya jelas tampak bahawa tindak ujaran itu adalah tindak ujaran yang representatif. Setelah kemudian kita memperhatikan muatan proposisinya, kita membagi ayat itu ke dalam dua kelompok informasi: (a) lama, dan (b) baru. Dari ayat ini jelas dapat dirasakan bahawa pembicara pasti mengandaikan bahawa pendengar tahu akan adanya orang yang menyanyi lagu Fly Me to the Moon. Informasi inilah yang merupakan informasi lama yang diandaikan diketahui oleh pendengar. Sementara itu, ada informasi lain yang merupakan tambahan pada informasi lama, yakni, orang yang menyanyikan lagu itu, Sari.
Dalam bentuk skema kedua informasi itu dapat digambarkan begini:
a. Informasi lama: X menyanyi lagu Fly Me to the Moon.
b. Informasi baru: X = Sari
Informasi baru, bersama informasi lama, inilah yang kemudian disimpan dalam memori kita.
Akan tetapi, orang tidak selalu berbicara secara eksplisit terus-menerus. Ada kalanya pembicara tidak memberikan informasi itu secara lengkap dan eksplisit. Perhatikan ayat berikut.
(21) The man was murdered. A knife lay nearby.
(22) The man was murdered. The knife lay nearby.
Frasa a knife pada (21) menunjukkan bahawa si pembicara sama sekali tidak mempunyai fikiran atau kecurigaan bahawa pisau itu adalah alat yang digunakan oleh si pembunuh. Dia hanya sekadar menyatakan adanya pisau di dekat mayat itu. Sebaliknya, pada (22) pembicara mempunyai kecurigaan terhadap pisau itu sebagai alat yang digunakan oleh si pembunuh. Kerana itu, dia menggunakan frasa the knife, bukan a knife.
Suatu informasi yang secara terselinap dimasukkan dalam suatu ujaran dinamakan implikatur. Oleh sebab itu, pada ayat (21) ada implikatur yang menyatakan bahawa pisau tersebut tidak dicurigai sebagai alat pembunuhan. Sebaliknya, pada (22) implikaturnya adalah bahawa pisau tersebut dicurigai dipakai sebagai alatnya.
Dalam contoh berikut tampak pula adanya implikatur.
(23) Dia masuk ke kamar dan diambilnya sebuah buku.
(24) John has stopped beating his wife.
Implikatur yang terdapat pada (23) adalah bahawa di kamar itu ada beberapa buku dan dia mengambil salah satu buku itu. Pada (23) implikaturnya adalah bahawa (a) John pastillah orang yang sudah berkeluarga, dan (b) dia dikenal sebagai orang yang suka memukuli isterinya.
Ayat sanggahan sebenarnya sama dengan ayat representatif. Hanya saja dalam ayat seperti ini, informasi barunya bukan dalam bentuk positif tetapi negatif. Perhatikan kalimat berikut.
(25) Bukan Sari yang menyanyi lagu Fly Me to the Moon.
Informasi lamanya sama seperti (20), yakni, adanya seseorang yang menyanyi lagu Fly Me to the Moon. Bezanya hanyalah bahawa informasi baru pada (20) adalah X = Sari sedangkan pada (25) X # Sari ( X bukan Sari).
Baik implikatur mahupun ayat negatif seperti di atas tetap saja dapat kita simpan dalam memori kita kerana kedua-duanya merupakan ayat representatif.
b. Pelaksanaan Tindak Ujaran Direktif
Tindakan ujaran direktif, seperti dinyatakan di atas, sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yang lebih kecil: (a) pertanyaan dengan jawapan ya, tidak, bukan atu belum, (b) pertanyaan yang memerlukan jawapan mana, (si, meng)apa, dan (c) perintah bagi melakukan sesuatu.
i. Pelaksanaan untuk Pertanyaan Ya atau Tidak
Pertanyaan yang diistilahi dengan Pertanyaan Ya atau Tidak, yang dalam bahasa Inggris umum dirujuk dengan istilah Yes or No Questions, sebenarnya juga memiliki informasi lama seperti pada ayat representatif, baik yang biasa mahupun yang sanggahan. Perhatikan contoh-contoh berikut:
(26) Ira yang menyanyi lagu Kopi Dangdut.
(27) Bukan Ira yang menyanyi lagu Kopi Dangdut.
(28) Apa Ira yang menyanyi lagu Kopi Dangdut?
Kalau kita mendengar tiga ayat di atas akan kita rasakan bahawa ketiga-tiganya memiliki informasi yang sama, yakni, adanya seseorang yang menyanyikan lagu Kopi Dangdut. Beza antara (26) dan (27), seperti dinyatakan sebelumnya, adalah bahawa pada (26) X = Ira sedangkan pada (27) X # Ira.
Begitu pula dengan ayat (28). Beda antara (28) di satu pihak dengan (26-27) di pihak lain adalah bahawa informasi baru pada (28) belum diketahui. Kerana itu, cara mengimbau semula informasi dari mental kita dan kemudian menerapkannya juga berbeza. Pada waktu kita mendengar (28), otak kita “berputar” bagi mencari informasi yang pernah masuk ke dalam benak kita mengenai seseorang yang menyanyi lagu itu. Jikalau dalam kotak memori kita pernah masuk dan tersimpan suatu informasi yang menyatakan bahawa memang Ira yang menyanyi lagu itu, maka informasi itu akan kita imbau. Dengan sendirinya, jawapan terhadap pertanyaan itu pastilah Ya. Bila dalam memori kita ternyata kita dapati informasi yang pernah masuk dan tersimpan adalah Fahmi Sahab, bukan Ira, maka kita akan menjawabnya dengan Bukan.
Dengan singkat prosedurnya adalah sebagai berikut (Clark dan Clark 1977: 103):
a. Representasikan ayat yang didengar: menyanyi (X, Y)
b. Cocokkan representasi tersebut dengan informasi yang anda miliki: menyanyi (X, Y).
c. Bandingkan kedua representasi tersebut:
i. Nyatakan Truth Index pada Benar
ii. Bila tidak cocok, ubahlah menjadi Salah
d. Berikan respon sesuai dengan Truth Index pada c.
ii. Pelaksanaan untuk Pertanyaan Mana atau Apa
Istilah Pertanyaan Mana atau Apa yang diperkenalkan di sini sebagai padanan Inggris WH-Questions dilandasi oleh argumentasi bahawa mana dapat mewakili berbagai macam pertanyaan (di mana, ke mana, bagaimana) dan apa dapat pula mewakili apa, siapa, berapa, kenapa atau mengapa.
Berbeza dengan Pertanyaan Ya atau Tidak, Pertanyaan Mana atau Apa tidak menanyakan benar tidaknya suatu proposisi, tetapi mencari suatu butir informasi tertentu. Oleh kerana itu, prosesnya tidak hanya mencocokkan antara informasi baru yang sedang dicari dengan informasi lama yang telah tersimpan dalam mental kita seperti pada Pertanyaaan Ya atau Tidak. Pada Pertanyaan Mana atau Apa, begitu kita mendengar pertanyaan tersebut kita mencari dalam memori kita bagi menemukan butir informasi yang diperlukan. Perhatikan contoh berikut.
(29) Siapa yang memimpin Perang Paderi? ???
Setelah mendengar ayat (29) kita akan pertama-tama merepresentasikan ayat tersebut: mana yang merupakan informasi lama – seseorang, X, memimpin suatu perang yang dikenal dengan nama Perang Paderi.??? Kemudian, kita cermati satu demi satu informasi-informasi yang telah tersimpan dalam memori kita untuk menemukan informasi yang cocok dengan informasi lama ini. Hasil dari pencarian itu merupakan jawaban terhadap (29). Bila dalam memori kita antesiden itu memang tersimpan, maka jawaban kita adalah Imam Bondjol. Bila ternyata memori kita kosong dalam hal ini, maka jawabannya boleh Aduh, siapa, ya atau Lupa aku.
Secara umum dapatlah dikatakan bahawa untuk melaksanakan tindak ujaran mana atau apa dilakukan proses berikut:
a. Tentukan representasi ayat yang didengar.
b. Carilah dalam memori suatu antesiden yang cocok dengan informasi lama pada ayat.
c. Imbaulah informasi tersebut sebagai jawapan.
Sering pula terjadi bahawa informasi yang dicari itu tidak dengan mudah didapati. Semakin sukar informasi itu diperoleh, semakin lamalah waktu yang diperlukan. Tidak mustahil pula bahawa kita gagal. Perhatikan contoh-contoh pertanyaan berikut yang mempunyai gradasi kesukaran yang berbeza-beza:
(30) Siapa presiden pertama Indonesia?
(31) Siapa Perdana Menteri India yang sangat terkenal pada zaman Soekarno?
(32) Siapa raja Inggeris yang turun takhta untuk bernikah dengan wanita biasa?
Jawaban untuk Pertanyaan mana atau apa juga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Suatu pertanyaan yang sama dapat memunculkan jawapan yang berbeza-beza, meskipun penjawabnya itu sama. Perhatikan ayat berikut:
(33) Di mana Stesen Gambir?
Jikalau pertanyaan itu muncul di Jakarta, maka informasi baru yang akan kita sampaikan sebagai jawaban adalah Di Jalan Medan Merdeka Timur. Akan tetapi, kalau pertanyaan itu munculnya di Surabaya atau Bandung, maka jawapannya adalah Di Jakarta.
Bahawa dalam mental kita terdapat lebih dari satu jawaban sebenarnya adalah suatu hal yang biasa. Perbezaan mahupun jenis jawapan yang diimbau untuk diberikan memang dapat banyak dipengaruhi tidak hanya oleh faktor eksternal tetapi juga faktor internal. Seorang mahasiswi pondok yang mendapat pertanyaan (34) melalui telefon daripada seorang teman lelakinya
(34) Kamu buat apa malam Minggu ini?
mempunyai beberapa pilihan bagi menjawabnya. Jikalau memang dia sudah ada rancangan untuk pulang menjenguk ibunya yang sakit, yang tentunya sudah tersimpan dalam memori dia, dia akan berkata (35). Kalau dia tidak mempunyai rancangan dan semacam mengharapkan untuk diajak pergi, dia mungkin akan mengatakan (36). Jikalau dia tidak suka lelaki itu, mungkin saja dia mencari alasan seperti (37); kalau dia agak bermain sedikit, boleh saja dia menjawabnya dengan (38).
(35) Mahu menengok emak, katanya lagi sakit.
(36) Tidak ada apa-apa. Kenapa?
(37) Aku mahu belajar; banyak ujianlah.
(38) Ikut apa soalan engkau seterusnya.
iii. Pelaksanaan untuk Ayat Perintah
Ayat perintah umumnya mewakili tindak ujaran direktif yang langsung. Pada umumnya respons terhadap tindak ujaran ini berupa perbuatan untuk melakukan sesuatu. Ambillah contoh berikut:
(39) Masukkan kad kredit itu ke dompet.
Begitu mendengar ayat (39) yang kita lakukan adalah menentukan tujuan dari ayat tersebut. Dalam hal ini, ada suatu keadaan di mana suatu kad kredit tidak berada di dalam dompet tetapi kemudian harus masuk ke dalam dompet tersebut. Ertinya, proposisi mengenai kedua argumen ini harus serasi dengan predikasinya.
Langkah berikutnya adalah bagi mengamati keadaan saat ini, yakni, adanya kad kredit yang tidak ada di dalam dompet. Dari kedua objek ini, mana yang mempunyai status yang lebih kekal dan mana yang lebih mudah digerakkan. Hal ini penting untuk disadari kerana perbuatan kita melaksanakan tindak ujaran ini dipengaruhi oleh konsep tersebut. Langkah terakhir adalah bagi melaksanakannya dengan berpedoman pada konsep di atas. Dalam hal ini, kita mengambil kad kredit itu dan dimasukkan ke dalam dompet. Dengan langkah-langkah ini maka selesailah tugas kita melaksanakan tindak ujaran direktif ini.
Konsep yang berkaitan dengan kekekalan dan pergerakan ini perlu diperhatikan agar kita melaksanakannya sesuai dengan cara yang digunakan oleh orang lain mana pun. Seandainya perintah itu adalah
(40) Masukkan pena itu ke kole di meja
maka kita secara instingtif tahu bahawa dari kedua benda itu, kole lebih kekal daripada pena. Kerana itu, cara kita melaksanakan ayat (40) adalah bukan dengan meletakkan pena itu di meja lalu menyusupkan kolenya sampai akhirnya pena itu masuk ke kole. Lumrahnya, pena itu kita pegang dan kemudian kita masukkan ke dalam kole di meja. Hasil akhir boleh saja sama, yakni, pena itu berada di dalam kole.
Perbuatan-perbuatan lain dalam melaksanakan tindak ujaran direktif macam ini juga sama. Kalau kita membubuh gula untuk minuman teh yang sedang kita buat, maka sudunyalah yang kita gerak-gerakkan, bukan suduya kita pegang erat lalu gelasnya yang kita goyang-goyang. Kalau kita menangkap papan yang terlepas, maka pemegangnyalah yang kita putar-putarkan, bukan papannya, dst.
c. Pelaksanaan Tindak Ujaran Komisif
Seperti dinyatakan sebelumnya, tindak ujaran komisif berbeza daripada tindak ujaran direktif hanya dalam arahnya, direktif kepada si pendengar, komisif pada diri si pembicara. Perhatikan contoh berikut:
(41) Saya berjanji bagi membiayai persekolahan kamu.
Kata kerja seperti berjanji, bersumpah, dan bertekad menandai jenis ujaran ini. Setelah ujaran ini didengar, maka pendengar mencari muatan proposionalnya dan menentukan pula mana yang berupa informasi lama dan mana yang baru. Tampak di sini bahawa yang baru adalah janji bagi membiayai sekolah seseorang. Informasi lamanya adalah si pembicara, saya.
Kerana tindak ujaran komisif tidak menanyakan atau memerintahkan sesuatu maka tidak ada perbuatan yang harus dilakukan. Seperti halnya dengan tindak ujaran representatif, pelaksanaan tindak ujaran komisif juga hanya berupa penyimpanan informasi ini pada memori kita saja.
d. Pelaksanaan Tindak Ujaran Ekspresif
Kerana tindak ujaran ekspresif menyatakan keadaan psikologis seseorang, maka pelaksanaannya pun bukan berupa perbuatan, khususnya perbuatan fizikal. Perhatikan contoh berikut:
(42) Bu, saya ikut berdukacita; semoga arwah Bapak diterima di sisi Tuhan.
(43) Selamat, ya, semoga panjang umur dan bahagia selalu.
(44) Sial, kamu, ada hutang tak mahu bayar.
Setelah kita memahami muatan proposisional serta muatan tematik ayat (42), maka kita sebagai pendengar hanyalah diam, menyimpan makna ayat itu dalam memori kita. Kalau ada pelaksanaan, umumnya hanya berupa respons yang verbal seperti “Terima kasih” atau ungkapan-ungkapan yang lain.
Begitu juga dengan ayat (43), paling-paling pelaksanaannya hanyalah dalam bentuk ucapan “Terima kasih” dsb. Untuk (44) mungkin tidak perlu ada reaksi apa-apa. Pendengar boleh hanya akan menyimpan makna (44) dalam memori saja.
e. Pelaksanaan Tindak Ujaran Deklarasi
Kerana dalam tindak ujaran deklarasi diperlukan adanya syarat kelayakan (felicity condition) agar ayat yang diucapkan itu bermakna, maka langkah tambahan dalam memahami dan kemudian melaksanakan ujaran ini adalah untuk meyakinkan diri bahawa si pembicara itu memang mempunyai wewenang untuk mengatakan apa yang dia katakan. Dalam contoh (45) berikut
(45) I hereby pronounce you husband and wife
pendengar (dalam hal ini boleh juga kedua pengantin itu) akan menganggap ayat itu bermakna hanya apabila si pembicara, I, memang mempunyai wewenang untuk menikahkan orang. Kalau tidak, maka pelaksanaan dari ujaran itu tidak akan dianggap sah. Dengan kata lain, pelaksanaan tindak ujaran deklarasi hanya dapat dilakukan apabila syarat kelayakannya dipenuhi.
5. PELAKSANAAN UJARAN TAK LANGSUNG
Seorang ibu yang telah kesal dengan anaknya yang berumur tujuh tahun mungkin tidak akan secara langsung menyuruh anaknya mengambil tuala yang dia letak di lantai. Dia akan mengucapkan ayat seperti (46)
(46) Tony, berapa kali mama telah bilang untuk tidak menaruh tuala di lantai?
Mendengar ayat seperti itu, Tony tentunya tidak akan menjawab dengan ayat “Lima kali, Mak” atau “Tak ingat, Mak, berapa kali.” Dia menyedari bahawa ibunya sedang marah dan menyuruhnya mengambil tuala itu.
Pada peristiwa lain, keluarga orang Inggeris yang sedang makan dan sang ayah berkata kepada anaknya
(47) Could you pass me the salt?
tidak pula akan dijawab dengan Yes, I could atau No, I couldn’t dan diam sesudah itu kerana dia tahu bahawa ayahnya bukan sedang menanyakan kemampuan atau ketidakmampuan dia memberikan garam.
Ujaran-ujaran seperti ini dinamakan ujaran tidak langsung, ertinya, apa yang dinyatakan dengan apa yang dimaksudkan tidak sama. Ujaran seperti ini lebih sukar untuk dilaksanakan kerana ada satu fasa tambahan yang harus dilalui, yakni, fasa untuk memindahkan makna literal ke makna yang tidak langsung ini. Tetapi bagaimana kita manusia dapat memahami ujaran seperti ini dan kemudian melaksanakannya? Dalam hal ini, prinsip yang dinamakan Prinsip Kooperatif sangat membantu.
1. Prinsip Kooperatif
Dalam perilaku kehidupan sehari-hari, manusia sebenarnya mengikuti prinsip kooperatif. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau waktu memandu motokar, orang tidak mengikuti prinsip ini. Waktu kita memegang steremg, kita tahu bahawa pemandu-pemandu lain pun mengikuti prinsip yang sama, yakni, jalan di sebelah kiri, waktu mahu belok memberi tanda, waktu parkir motorkar berada di antara dua garis parkir, dsb. Dengan masing-masing mengikuti aturan main, maka lalu lintas boleh berjalan. Tentu saja, ada kalanya (bahkan sering) orang melanggar, dan bila pelanggaran dilakukan, pasti akan ada sesuatu yang terjadi, seperti sungutan, kesesakan, atau bahkan berlanggar.
Dalam kita berkomunikasi, kita juga mengikuti prinsip seperti ini. Prinsip yang dinamakan Prinsip Kooperatif (Co-operative Principle) ini pertama kali dikemukakan oleh ahli falsafah H. Paul Grice pada serentetan kuliahnya tahun 1967. Pada da-sarnya prinsipel ini memberikan landasan mengapa manusia dapat saling berkomunikasi. Landasan ini disebut sebagai mak-sim (maxim). Grice memberikan empat jenis maksim (Grice 1975; Thomas 1998: 176-179; Mey 2001: 71-79)
i. Maksim Kuantiti
Maksim ini menyatakan bahawa sebagai pembicara informasi yang kita berikan haruslah seinformatif mungkin, tetapi jangan lebih dan jangan kurang informatif daripada yang diperlukan. Kalau informasinya kurang lengkap akan terjadi salah faham. Perhatikan contoh berikut:
(48) A: Tadi malam saya lihat Pak Mulyadi sama perempuan.
B: Ah, masak. Apa tak takut ketahuan isterinya.
A: Ya, tidaklah, bukankah perempuan
itu isterinya.
Dalam percakapan ini ada pelanggaran maksim kuantitas kerana informasi yang diberikan oleh A kurang dari yang seharusnya. Kerana kurangnya informasi ini maka B menjadi salah menger-ti. Sebaliknya, ayat (49) juga melanggar maksim kuantitas tetapi dalam pengertian yang terbalik. Kalau Pak Mulyadi adalah orang yang sudah kita kenal, maka informasi seperti pada ayat (49) ini berlebihan.
(49) Tadi malam saya lihat Pak Mulyadi – itu, guru kita, yang mengajar fonetik dan kaedah dan yang rambutnya gondrong itu – sama perempuan.
Dengan perkataan lain, pada maksim ini informasi yang diberikan hendaknya pas – tidak kebanyakan dan tidak kesedikitan.
ii. Maksim Kualiti
Maksim ini membimbing orang untuk tidak mengatakan apa yang menurut dia tidak benar; kita juga hendaknya tidak mengatakan sesuatu yang tidak ada bukti kebenarannya. Kalau seorang pembicara mengujarkan sesuatu dan menurut dia sendiri saja sudah tidak benar, pegangan apa yang dapat dipakai oleh pendengar untuk memahami ujaran itu? Sebagai misal, kalau pembicara tahu bahawa Pak Wijoyo tidak ada di Jakarta kerana dia sedang berada di Leipzig, maka ayat (50) melanggar maksim kualiti.
(50) Pak Wijoyo sekarang ada di Jakarta
Begitu pula kalau dia tidak tahu di mana Pak Wijoyo berada, maka ayat (50) juga melanggar maksim kualitas. Dalam hal yang mana pun pendengar tidak akan pernah tahu apakah yang diucapkan oleh interlokutor dia itu benar atau tidak. Dengan de-mikian, komunikasi pastilah terganggu.
iii. Maksim Hubungan
Pada maksim ini kita diharapkan untuk memberikan informasi yang relevan terhadap tujuan percakapan. Seandainya kita baru saja membeli mobil baru, dan kita menggambarkan mobil itu kepada teman kantor maka informasi seperti (51) tidaklah rele-van.
(51) … kereta itu warnanya merah. Cap catnya kalau tak salah Danapaint, nombor 3021, dan pencair yang dipakai bukan pencair cap butterfly yang tinnya hijau, tetapi yang merah …dst.
Informasi mengenai cap cat, nombor cat, warna tin untuk pencair, dsb itu tidak relevan, dan juga berlebihan, dalam konteks gambaran kereta baru itu. Gambaran seperti ini telah keluar dari tujuan percakapan tadi.
Begitu juga kalau menurut pembicara si pendengar tidak tahu siapa Mujio itu, maka ayat (52) tidak mempunyai makna bagi pendengar; baru setelah ditambah dengan informasi yang relevan seperti pada (53) komunikasi tadi tidak terganggu.
(52) Mujio mendapat pekerjaan di Trakindo
(53) Mujio, anak saudara saya yang baru lulus D-III (Diploma Tiga), mendapat pekerjaan di Trakindo.
iv. Maksim Cara
Dalam berkomunikasi, orang juga harus mengungkapkan pikirannya secara jelas. Beza antara perkataan akan dan dapat, misalnya, dapat menimbulkan gejolak yang besar bila presiden memakai perkataan dapat sedangkan yang dikutip oleh media masa adalah perkataan akan seperti dalam ayat (54) berikut
(54) Presiden akan memberhentikan Panglima ABRI.
Pembicara juga harus menghindar dari ayat-ayat yang taksa. Bila yang memprotes adalah wanita muda, sedangkan perianya ada yang muda dan ada yang tua, maka kita memakai ayat (55) dan bukan (56)
(55) Men and young women were protesting the new marriage law
(56) Young men and women were protesting the new marriage law
kerana pada (56) terkandung ketaksaan, yakni, (a) boleh perianya saja yang muda, tetapi juga (b) boleh kedua-duanya.
Orang pada umumnya juga menghindari kekacauan dalam menyatakan peristiwa. Ayat seperti (57) akan sangat mengganggu pengertian si pendengar.
(57) Kemarin kami ke Puncak. Sebelum itu, singgah dulu di Kebun Raya Bogor. Di Puncak kami menginap semalam. Udaranya enak juga, tidak terlalu dingin. Di Kebun Raya kami lihat bunga bangkai yang kebetulan sedang mekar. Vila yang kami sewa cukup bersih. Bunga bangkai itu ….
2. Pelaksanaan Ujaran dan Prinsip Kooperatif
Apa kaitan antara prinsip kooperatif di satu pihak dengan pelaksanaan ujaran di pihak lain? Kaitannya adalah bahawa dalam berbahasa orang tidak selamanya menyatakan apa yang dimaksudkan secara rinci dan eksplisit. Perhatikan contoh percakapan berikut: waktu telefon berdering, mama di kamar, dan anaknya, Dony, di suatu tempat:
(58)
Mama: Don, tuh diangkat telefonnya.
Dony: Lagi beol, Ma.
Dari segi sintaksis, kedua ayat itu tidak ada hubungannya sama sekali. Akan tetapi, kerana adanya maksim hubungan yang menekankan adanya informasi yang relevan untuk mencapai tujuan percakapan maka mamanya tahu apa yang dimaksudkan oleh Dony. Bahkan akan sangat aneh kalau percakapan itu berbunyi seperti (59).
(59)
Mama: Don, tu telefon berdering; angkatlah.
Dony : Mama, Dony lagi beol. Kerana itu, Dony tidak boleh mengangkat telefon itu.
Percakapan seperti (58) tidak hanya tidak langsung, tetapi juga mengandungi implikatur tertentu. Jawapan Dony mengandungi implikasi bahawa dia tidak dapat mengangkat telefon itu kerana dia sedang buang air besar di kamar mandi.
Orang juga dapat “melanggar” maksim untuk tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, Pensyarah A dan B sedang berbicara tentang kualiti para mahasiswa. Pensyarah A ingin tahu bagaimana kemampuan seorang mahasiswi tertentu:
(60)
A: Bagaimana si Dina, Tuan?
B: (Dengan tersenyum-senyum) Wajahnya cantik, tubuhnya juga boleh tahan.
Jawapan B di sini melanggar) maksim kualiti. B tahu apa yang ditanyakan oleh A tetapi mungkin jawapan lurusnya tidak akan enak didengar (misalnya, mahasiswi itu tidak pandai). Daripada mengatakan yang negatif, dia memilih yang positif, wajah yang cantik, tubuh yang bagus, dsb.
Seorang profesor yang diminta untuk menulis surat perakuan untuk mantan mahasiswanya yang sedang mencari biasiswa melanjutkan pengajiannya sebenarnya kurang mahu menyokongnya kerana kemampuan akademik mahasiswa ini hanya lulus saja, meskipun dia rajin. Kerana sebagai seorang ahli akademik dia harus jujur, tetapi dia juga tidak mahu mengatatakan hal-hal yang akan mengurangi peluangnya memperolehi biasiswa, dia dapat menulis begini:
(61) Tommy adalah mahasiswa yang rajin, selalu hadir dalam kuliah. Saya amati dia juga sangat serius dalam belajar. Beberapa kali saya dapati dia di perpustakaan untuk mencari bahan-bahan yang wajib dibaca. Namun keseriusannya ini tidak membuat dia terpencil daripada mahasiswa yang lain kerana saya lihat dia dapat bergaul dengan para mahasiswa lain … dsb, dst.
Perhatikan bahawa pada surat perakuan di atas, sama sekali sang profesor tidak menyinggung kemampuan akademik dia, padahal dalam pengajian justeru inilah yang diperlukan. Dengan perkataan lain, profesor ini telah melanggar beberapa maksim: maksim kualiti (kerana dia tidak memberikan gambaran cukup informatif), maksim hubungan (kerana dia tidak memberikan informasi yang relevan untuk tujuan surat itu), dan maksim cara (kerana dia, secara sengaja, tidak jelas dalam memberikan informasi).
Teori Grice mengenai Prinsip Kooperatif ini sangat berpengaruh dan mendapat tanggapan yang luas. Orang berbantah untuk membela atau mengritik teori ini. Sanggahan yang umum dilontarkan adalah bahawa teori ini adalah seperti mengatur bagaimana manusia harus berperi laku dalam kehidupan dunia (Thomas 1998: 176-179). Banyak manusia yang berkomunikasi dengan melanggar aturan Grice dan hal ini dilakukan bukan dalam rangka melangar maksim itu. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar ujaran atau wacana dengan pemikiran yang tidak runtun atau pemberian informasi yang tidak jelas, dsb.
4. 3 Langkah-langkah dalam Pelaksanaan Ujaran Tak Langsung
Dari gambaran di atas dapatlah disimpulkan bahawa ujaran taklangsung memerlukan pemprosesan yang lebih rumit dan lebih lama sebelum dapat dilaksanakan. Secara singkat proses tersebut adalah:
a. Tentukan makna yang langsung terlebih dahulu.
b. Tentukan apakah makna langsung ini yang dimaksudkan.
c. Sekiranya bukan, tentukan makna tak langsungnya dengan memperhatikan prinsip kooperatif dan aturan percakapan yang lain.
d. Ambil langkah untuk melaksanakan tindak ujaran ini sesuai dengan makna yang ditentukan pada c.
Friday, January 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment